Layanan & Kasus
Mitra Perempuan Women’s Crisis Centre yang didirikan oleh Yayasan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (1995) memberikan pelayanan kepada masyarakat sebagai implementasi dari Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pasal 22 dan pasal 23 UU ini mengatur peran Pekerja Sosial dalam memberikan pelayanan di rumah aman serta Peran Relawan Pendamping dalam memberikan pelayanan kepada Korban KDRT. Layanan WCC yang tersedia di Jakarta (Hotline 83790010) , Tangerang (Hotline 7412149) dan Bogor (Hotline 0251-331418) memberikan layanan hotline, konseling, konsultasi dan pendampingan untuk bantuan medis, shelter dan hukum secara cuma-cuma kepada perempuan dan anak yang mengalami kekerasan.
Di tahun 2007 layanan Mitra Perempuan Women’s Crisis Centre telah diakses oleh 283 perempuan dan anak berdomisili di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok dan beberapa daerah lainnya yang untuk pertama kali datang ke Mitra Perempuan (kasus baru); dengan pemetaan 71,38% di WCC Jakarta, 18,02% di WCC Tangerang dan 10,60% di WCC Bogor.
Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) masih merupakan kasus terbanyak tahun ini, yakni 87,32 % dari 284 kasus. Dimana pelaku kekerasan terbanyak adalah suami (77,46%), mantan suami (5,28%), orang tua/mertua (2,11%), saudara dan anak serta majikan. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kasus KDRT juga mendominasi kasus kekerasan terhadap perempuan yakni 85,42% dari 336 kasus (2006).
Statistik menunjukkan bahwa profil perempuan yang memanfaatkan layanan Mitra Perempuan: 3,53% anak perempuan yang mengalami kekerasan (18 tahun ke bawah), sedangkan 88,69% perempuan berusia 26 tahun keatas. Data menunjukkan bahwa 9 dari 10 perempuan yang memanfaatkan layanan Mitra Perempuan ternyata telah mengalami lebih dari 1 (satu) jenis kekerasan (berganda/berlapis); diantara kekerasan fisik, psikis, seksual & penelantaran dalam rumah tangga. Mereka yang mengalami kekerasan fisik 54,22%, kekerasan psikis 94,72%, sedangkan kekerasan seksual 29,92% dan penelantaran ekonomi 70,10%. Di samping konflik domestik 61,27 % diantaranya perebutan hak perwalian anak, hak waris & harta bersama, poligami dan perceraian, juga menyertai kasus kekerasan yang mereka alami. Dampak kekerasan terhadap kesehatan perempuan yang mengalami kekerasan masih tetap memprihatinkan, dimana 9 dari 10 perempuan mengalami dampak kekerasan yang mengganggu kesehatan jiwanya (mental health) termasuk 12 orang pernah mencoba bunuh diri. Sedangkan 13,12% dari mereka terganggu kesehatan reproduksinya. Data ini tak berbeda jauh dengan data kasus di tahun lalu.
Pada profil laki-laki sebagai pelaku kekerasan ditemukan bahwa berkisar usia 19 tahun ke atas 99%, diantaranya 3,55% berusia 19-25 tahun. Mereka memiliki latar belakang pendidikan yang bervariasi diantaranya 4,61% SMP/sederajatnya dan 53,55% Universitas/Diploma. Kebanyakan berstatus bekerja dan 13,12% yang tidak bekerja.
Upaya Perempuan dan Penegakan Hukum
Di tahun ketiga setelah diberlakukannya UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, cukup terlihat upaya yang ditempuh perempuan menghadapi masalah KDRT. Kebanyakan para perempuan yang datang ke Mitra Perempuan, sebelumnya telah menempuh upaya pelayanan hukum (21,83%), serta pelayanan kesehatan (11,62%).
Sedangkan layanan Mitra Perempuan yang paling banyak dimanfaatkan mereka adalah layanan konseling (89,40%), pendampingan dari Para Pekerja Sosial dan Relawan Pendamping berupa pendampingan medis, shelter dan hukum yang tersedia di Mitra Perempuan (10,60%). Tercatat 9,19% diantara mereka didampingi Mitra Perempuan untuk menempuh upaya hukum.
Dari pemantauan terhadap kasus-kasus KDRT, penegakan hukumnya selain menggunakan pasal-pasal UU No. 23 tahun 2004 juga menggunakan KUHP diantaranya pasal 264, 279, 284, 286, 287, 288, 289, 335, 351, 356. Putusan pengadilan bervariasi pada hukuman pidana penjaranya dari 3 bulan hingga 6 tahun.
Hingga kini belum ada putusan pengadilan yang menetapkan hukuman pidana tambahan terhadap Pelaku sebagaimana yang diatur oleh UU No. 23 tahun 2004. Pasal 50 UU tersebut mengatur:
“Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini, Hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa:
- pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
- penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu”.
Sejumlah perempuan menempuh upaya hukum secara perdata dengan mencantumkan alasan KDRT dalam gugatan perceraian ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama. Hal ini dipilih oleh mereka yang tidak bermaksud mempidanakan suaminya, namun memerlukan upaya hukum agar dapat memutus mata rantai kekerasan yang dilakukan oleh suaminya selama perkawinan.
Tantangan: Intervensi Pada Pelaku & Partisipasi Laki-laki
Kebutuhan akan program-program konseling yang merupakan intervensi kepada pelaku KDRT sebagaimana yang diatur pula oleh UU No. 23 tahun 2004 sudah semakin terasa. Mitra Perempuan telah berinisiatif selama 2 tahun terakhir memfasilitasi serangkaian lokakarya untuk menyusun program intervensi bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak yang diharapkan dapat dikembangkan di Indonesia. Setahun ke depan Mitra Perempuan bekerjasama dengan sejumlah narasumber laki-laki akan memulai pilot project pengembangan program konseling bagi laki-laki pelaku KDRT ini. Menggerakkan intervensi pada pelaku dan partisipasi laki-laki dalam upaya mengatasi masalah kekerasan terhadap perempuan merupakan sebuah tantangan yang harus kita hadapi bersama di tahun mendatang.
Peran Media Massa & Pendidikan Publik
Database Mitra Perempuan menunjukkan bahwa media massa tetap menjadi sarana penyampaian informasi yang dimanfaatkan oleh masyarakat khususnya kaum perempuan dan anak yang menjadi korban KDRT. 21,91% perempuan yang mengontak Hotline Mitra Perempuan mengaku terbantu dan mendapat informasi dari Media Massa (12,37% suratkabar, tabloid & majalah 3,89% radio, dan 5,65% televisi). Peran media ini sejalan dengan upaya Mitra Perempuan mensosialisasikan UU dan memberikan pendidikan kepada publik tentang penghargaan hak-hak asasi perempuan, khususnya dalam kehidupan rumah tangga, diantaranya kepada kelompok perempuan di pemukiman, pekerja di pabrik maupun guru dan siswa di sekolah. Sebagai media pendidikan, Mitra Perempuan menerbitkan serial booklet, leaflet, set informasi mini berupa permainan anak-anak serta iklan layanan masyarakat. Informasi layanan Mitra Perempuan diketahui masyarakat dari rujukan lembaga lain 21,55% seperti Ruang Pelayanan Khusus [RPK] di Kepolisian, Pusat Krisis Terpadu [PKT atau PPT] di rumah sakit, Komnas Perempuan; atau melalui publikasi Mitra Perempuan 8,13% yang dibaca/didengar Korban dan orang-orang di lingkungannya 48,41%. UU dan PP mengenai KDRT ini masih perlu disosialisasikan ke masyarakat luas untuk mencegah terjadinya tindakan KDRT. Demikian pula sosialisasi di kalangan para penegak & praktisi hukum, layanan kesehatan, layanan sosial/masyarakat dll.
Perkenankan kami menghaturkan penghargaan yang tulus dan terima kasih kami kepada seluruh mitra kerja dan jaringan kerja; baik kalangan pers, profesional, Pemerintah, Parlemen, lembaga donor, kedutaan besar, lembaga swadaya masyarakat, organisasi perempuan dan organisasi non Pemerintah lainnya serta sejumlah individu, atas kerjasamanya mengupayakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Kita sambut tahun baru dengan semangat dan inspirasi baru – bersama menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Selamat Tahun Baru 2008!
Jakarta, 22 Desember 2007.
Rita Serena Kolibonso, S.H., LL.M.
Ketua Pengurus