Pemenuhan dan Pemetaan Masalah Hak Kesehatan Korban/Penyitas (Survivor) Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) Pasca Berlakunya UU No. 23/2004 Tentang Penghapusan KDRT

Tanggal                     : 22 April 2010
Tempat                     :
Kantor Komnas Perempuan, Jalan Latuharhari No. 4B, Jakarta
Penyelenggara     : LBH APIK Jakarta
Penulis Laporan : Dian Fadjarwati dan Yeni Ampriani – Relawan Mitra Perempuan

Diskusi ini melibatkan penyedia layanan kesehatan dan pendamping korban, baik dari pemerintah maupun organisasi non-pemerintah untuk saling berbagi pengalaman di lapangan setelah lima tahun diberlakukannya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT.

Dalam UU tersebut, disebutkan bahwa korban KDRT berhak mendapatkan pelayanan medis sesuai kebutuhan, mendapat pelayanan khusus berkaitan dengan rahasia korban, dan berhak mendapatkan pelayanan bimbingan rohani. Sebelumnya, dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tahun 2002, telah diatur mekanisme pelayanan kesehatan bagi korban KDRT.

Dalam SKB tersebut dinyatakan bahwa korban KDRT dapat mengakses layanan kesehatan di Rumah Sakit Umum milik Pemerintah, mulai dari tingkat pusat hingga daerah, serta Rumah Sakit Kepolisian Pusat dan Bhayangkara. SKB ini juga menyebutkan bahwa layanan kesehatan bagi korban KDRT harus memenuhi prinsip kemudahan, kenyamanan, dan keselamatan korban.
Kenyataan di lapangan, hak korban seperti yang disebutkan di atas tidak sepenuhnya terpenuhi karena faktor biaya layanan kesehatan serta minimnya informasi tentang hak-hak korban dan sikap pelayan kesehatan.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2006 disebutkan bahwa alokasi dana bagi pelayanan korban KDRT ditanggung oleh APBN/APBD. Sementara untuk wilayah DKI Jakarta berdasarkan SK Kepala Dinas Kesehatan No. 10750 / 2006 juga membebaskan biaya penanganan korban kekerasan terhadap perempuan. Bahkan, visum et repertum pun dibebaskan biayanya berdasarkan PerGub No. 55 tahun 2007. Namun, hal tersebut amat bertentangan dengan kenyataan, di mana para aktivis pendamping korban mengeluhkan bahwa para korban tidak mendapatkan pelayanan kesehatan secara cuma-cuma.

Sementara itu, pihak pelayanan kesehatan berdalih bahwa banyak pasien yang datang untuk mendapatkan pelayanan medis tidak mendaftarkan diri sebagai korban kekerasan. Pasien korban kekerasan tidak mau terbuka.

Dari hasil kajian LBH APIK Jakarta terungkap bahwa petugas pelayanan medis banyak yang tidak sensitif dengan isu kekerasan. Terbukti banyak di antara mereka malahan menyalahkan dan tidak berempati terhadap korban. ***

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *