Keluarga adalah kesatuan masyarakat terrkecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak. Selanjutnya anak adalah bagian dari keluarga yang sosialisasi dan kebutuhannya menjadi tanggung jawab orang tua.
Namun, dalam kehidupan sehari-hari masih ada sejumlah anak yang mengalami penderitaan justru oleh perlakuan salah (abuse) orang tuanya sendiri yang seharusnya bertanggungjawab atas kesejahteraan anak itu (UU Perlindungan Anak No. 23/2002). Seringkali para orang tua masih beranggapan bahwa mendidik anak untuk kebaikan anak itu sendiri adalah menggunakan kekuatan fisik.
Child abuse bentuknya dapat berupa:
a. Fisik: menyakiti dan melukai anak atau bahkan membunuhnya. Termasuk diantaranya memukul, membakar, menggigit, memberi racun, memberi obat yang salah secara sengaja, menenggelamkan.
b. Seksual: anak laki-laki maupun perempuan dianiaya secara seksual oleh orang dewasa untuk memenuhi kebutuhan seksual mereka sendiri. Hal ini dapat berupa hubungan kelamin (penetrasi), mastrubasi, seks oral, hubungan seksual anal, dan mengekspos anak untuk keperluan pornografi (termasuk video).
c. Penelantaran: ketika orang tua tidak memenuhi kebutuhan dasar anak, seperti makanan, pakaian, pengobatan, juga meninggalkan anak yang masih kecil sendirian di rumah.
d. Emosional: ketika anak kurang mendapatkan cinta dan kasih sayang, sering diancam dan dicela sehingga anak kehilangan rasa percaya diri dan harga diri.
Dikonstantir oleh Irwanto (1996), bahwa tindakan child abuse yang diterima akan mempengaruhi perkembangan fisik, kesehatan, kecerdasan, moral, sosial, dan emosional/psikologis dari anak-anak tersebut. Oleh karena itu, setiap tindakan yang mengarah pada child abuse dapat mempengaruhi dasar perkembangan anak. Akibat lain yang dapat ditimbulkan, anak menjadi depresi, cemas, agresif, menarik diri, hiperaktif, terlalu patuh, dsb.
Dampak child abuse pada tumbuh kembang anak:
1. Perkembangan Fisik:
- Dampak langsung terhadap child abuse: 5% mengalami kematian, 25% mengalami komplikasi serius seperti patah tulang, luka bakar, cacat, dsb.
- Terjadinya kerusakan menetap pada susunan syaraf, seperti buta, tuli, kejadian kejang, retardasi mental, dsb.
- Pertumbuhan fisik anak kurang dari anak sebayanya.
2. Gangguan Jiwa:
- Kecerdasan: keterlambatan dalam perkembangan kognitif, bahasa, membaca, dan motoris.
- Emosi: Gangguan emosi, kesulitan belajar/sekolah, kesulitan dalam mengadakan hubungan dengan teman, kehilangan kepercayaan diri, fobia, cemas.
- Konsep Diri: merasa dirinya jelek, tidak dicintai, tidak dikehendaki, muram, tidak bahagia, tidak mampu menyenangi aktivitas, dan percobaan bunuh diri.
- Agresif: lebih agresif terhadap teman sebaya, sering menirukan tindakan orang tua mereka.
- Hubungan Sosial: kurang dapat bergaul dengan teman sebaya, misalnya melempari batu, perbuatan kriminal lainnya.
3. Problem Perilaku dan Emosi pada Anak:
a. Balita (2-5 tahun)
Menjadi sangat takut. Perilaku dan reaksi emosi yang harus diamati:
• Cemas berlebihan, takut berpisah
• Perilaku agresif adanya kemunduran dalam kemampuan berbicara
• Kehilangan kemampuan lain yang baru dicapainya, misalnya menjadi pengompol lagi
• Mimpi buruk dan mengigau
b. Usia Sekolah
Lebih mampu menggunakan kemampuan berpikir, perasaan, dan tingkah laku. Perilaku dan reaksi emosional yang harus diamati:
• Kesulitan belajar, kesulitan konsentrasi, dan kegelisahan
• Cemas pasca-trauma
• Agresif dan rewel
• Depresif, tampak menarik diri dan pasif
• Sulit tidur
• Bertingkah laku seperti anak yang lebih kecil
Disarikan dari:
Makalah “Kekerasan dalam Keluarga: Kesetiaan, Harapan, dan Penganiayaan” oleh Dra. Purnianti