Diskusi: Perempuan Berkebutuhan Khusus

Tanggal                    : 25 Mei 2010
Tempat                    : Yayasan Jurnal Perempuan, Jalan Tebet Barat Dalam IX-A No. B-1, Jakarta
Penyelenggara    : Yayasan Jurnal Perempuan dan Aliansi Perempuan Antar Bangsa bekerjasama   dengan CEDAW Working Group Initiative (CWGI)
Penulis Laporan: Christina Happyninatyas – Relawan Mitra Perempuan

Menurut data dari WHO, penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 10 persen dari total penduduk keseluruhan. Himpunan Wanita Penyandang Cacat Indonesia (HWCI) mencatat, jumlah penyandang disabilitas perempuan dua kali lebih banyak dari penyandang disabilitas laki-laki. Mengapa isu perempuan dengan disabilitas menjadi penting untuk diperhatikan lebih seksama? Sebab mereka mengalami multi diskriminasi, yaitu sebagai perempuan, penyandang disabilitas, dan sebagian besar dari mereka hidup dengan kemiskinan.

Diskusi yang menghadirkan pembicara Dra. Veronika L. Mimi, MSi dari Pusat Kajian Difabilitas UI dan Mimi Institute serta Dra. Ariani dari HWCI membahas mengenai berbagai isu di lapangan yang menghambat kesetaraan para perempuan penyandang disabilitas. Hasil akhir yang diharapkan dari diskusi ini adalah mendapatkan masukan dan isu prioritas yang akan dilaporkan ke komite CEDAW, PBB.

Dari diskusi tersebut terungkap bahwa diskriminasi tidak hanya dialami dalam hal akses pada fasilitas umum, namun juga soal pekerjaan. Perwakilan dari Yayasan SEHJIRA yang mengadvokasi penyandang tuna rungu mengungkapkan anggotanya merasa didiskriminasi dalam lingkungan tempat mereka bekerja. Beberapa perusahaan sudah membuka diri dalam menerima pekerja penyandang disabilitas. Namun, pada kenyataannya yang terjadi adalah para penyandang disabilitas ini tidak juga diangkat sebagai karyawan tetap, padahal teman-teman seangkatan mereka sudah diangkat semua. Ada juga yang meskipun sudah diterima kerja pada level sarjana, tapi pihak perusahaan memberikan pekerjaan yang bisa dilakukan oleh pekerja pada level sekolah menengah. Ironisnya, HWCI belum lama ini juga mengadvokasi seorang kepala sekolah SLB yang juga penyandang disabilitas yang tak kunjung diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Padahal, staf pengajar lainnya sudah diangkat menjadi PNS.

Dari sisi hukum, penyandang disabilitas juga masih lemah. Perempuan dengan disabilitas merupakan pihak yang rentan menjadi korban perkosaan, pelecehan seksual, dan tindak kriminal lainnya (misalnya perdagangan narkotika). Dalam pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), pihak kepolisian dinilai belum ?ramah? dalam menghadapi keterbatasan kaum disabilitas. Belum lagi adanya pemaksaan dalam pembuatan BAP seperti berita di Medan yang ditulis oleh Harian Pos Metro, mengenai pasangan suami istri yang dituduh menyimpan ganja. Mereka akhirnya divonis masing-masing 18 tahun dan 15 tahun penjara. Padahal, mereka tidak tahu-menahu soal barang haram yang ditemukan di rumah mereka tersebut . Untuk melawan, mereka pun tak punya kuasa.

Pada kesempatan itu HWPCI menawarkan pendampingan bagi rekan-rekan LSM yang membutuhkan bantuan dalam hal berkomunikasi dengan kaum disabilitas yang tengah bermasalah dengan hukum. Terutama, saat pembuatan BAP, di mana komunikasi antara korban atau saksi dengan pihak kepolisian menjadi sangat penting. ***

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *